Kamis, 15 Juni 2017

Lagi-lagi Tentang Masjid dan Anak

Beberapa hari belakangan, ramai terdengar diskusi mengenai keterkaitan masjid dan anak di media sosial. Berbagai orang mencoba untuk mengutarakan pendapatnya. Entah itu sekedar status satu-dua kalimat ataupun tips-tips yang dapat dipertimbangkan oleh para orangtua untuk mulai mengajarkan anaknya kenal dan akrab dengan masjid. Tulisan yang saya buat ini pun salah satunya.

Hanya ingin sharing mengenai apa yang saya lihat dan alami sendiri terkait topik 'masjid dan anak' di sini, di Bristol. Kota dimana saya menimba ilmu saat ini.

Semoga bermanfaat. :)


Masjid di Bristol?

Tidak banyak masjid di kota ini. Selain komunitas muslim yang memang bukan mayoritas, Bristol bukan kota yang besar seperti London. Namun alhamdulillaah, flat tempat kami tinggal saat ini terhitung sangat dekat dengan salah satu masjid komunitas Arab. Saya bisa menjangkaunya hanya dengan berjalan kaki sekitar 5 menit. Tidak jauh berbeda dengan saya berjalan kaki dari rumah orangtua di Bekasi/Jakarta menuju masjid terdekat, wow!

Namanya As Sahaba. Estimasi kasar saya, masjid ini bisa menampung sampai 300 - 400 jamaah sekaligus untuk melaksanakan sholat berjamaah. Terdapat dua lantai di masjid ini, lantai bawah untuk laki-laki dan lantai atas untuk perempuan. Namun sayangnya, saat ini luas tempat sholat perempuan tidak sampai seperempat luas tempat sholat laki-laki. Renovasi dan perluasan masih menjadi impian pengurus masjid yang belum bisa terlaksana. Meski penampakan luarnya tidak seperti masjid kebanyakan - lebih mirip rumah atau gudang penyimpanan - interiornya dapat membuat kami para jamaah cukup nyaman untuk beribadah di dalamnya. Paling tidak itu yang saya rasakan selama ini.

Kondisinya setiap hari? Kurang lebih sama dengan masjid yang biasa kita jumpai di Jakarta. Tiga sampai empat shaf jika sedang ramai, biasanya saat maghrib dan isya saja. Namun saat bulan Ramadan seperti sekarang ini, kondisinya saat malam hari hampir-hampir seperti sholat Jumat. Apalagi alasannya kalau bukan sholat tarawih buka puasa gratis. :p


Masjid dan Anak

Dari sebelum masuk bulan Ramadan, saya perhatikan terkadang beberapa jamaah datang membawa anak-anaknya untuk sholat di sini. Tidak banyak memang, biasanya hanya ada satu atau dua anak per satu kali sholat. Lima anak sudah paling banyak. Rentang usianya bermacam-macam, mulai dari kisaran 1.5 tahun hingga 4 atau 5 tahun. Cara para orangtua ini pun bermacam-macam ketika sedang sholat sambil membawa anak. Berikut beberapa aliran yg dapat ditemui:

1. Sholat dan meminta anak berdiri di samping untuk mengikuti gerakan sholat. Saya pikir ini yang paling ideal, anak jadi belajar praktik langsung bagaimana melakukan sholat. Setidak-tidaknya, dia akan duduk diam dan kita jadi bisa lebih konsentrasi untuk sholat. Catatan penting, sang anak harus sudah bisa mengendalikan dirinya untuk tidak wara-wiri dan tetap menempel pada orangtuanya. Saat ini, aliran ini masih menjadi ANGAN-ANGAN SEMATA bagi saya.

2. Sholat dan membiarkan anaknya bermain di belakang shaf. Para orangtua yang melakukan ini biasanya membawa lebih dari satu anak. Asumsi saya, mereka ingin membuat suasana yang nyaman terlebih dahulu bagi anak-anaknya di masjid sehingga membiarkan mereka berlari-larian di belakang selama sholat. Orangtua dapat sedikit melonggarkan pengawasan karena sang kakak sudah dapat diminta untuk mengawasi adiknya untuk tidak aneh-aneh. Anak-anak happy, orangtua semoga khusyu' dalam sholat. 

3. Sholat dan membiarkan anaknya bermain di tempat yang masih bisa diawasi tanpa menoleh ke belakang selama sholat berlangsung. Biasanya para orangtua golongan ini membekali anak dengan mainan ataupun handphone agar anak tenang selama sholat. Uniknya, salah satu imam masjid ini pernah melakukannya. Dia membiarkan anak perempuannya duduk di sebelahnya sambil menonton video di handphone selagi dia memimpin sholat berjamaah. Bahkan saat Ramadan ini, ada yg membiarkan anaknya main catur di dalam masjid selama tarawih berlangsung. Wow.

4. Sholat sambil menggendong anak. Saya termasuk pengikut mazhab ini. TADINYA. Karena Ken (anak saya), sudah makin besar dan tak bisa diam akhirnya pelan-pelan saya beralih, mau tak mau. Saat ini, saya masih sedang dalam masa pencarian (trial error) yang sesuai dengan tingkah laku Ken. Mungkin lain kali saya akan cerita lebih detil soal ini. Biasanya, teknik ini dilakukan bagi orangtua yg membawa bayi atau anak di bawah usia 2 tahun.

Bagaimanapun gaya para jamaah ini (termasuk saya) membawa anak mereka ke masjid, hampir tidak pernah saya meihat ada jamaah lain ataupun pengurus masjid yang memarahi anak-anak tersebut karena bikin keributan atau berlari-larian di masjid. Baik ketika ada orangtuanya ataupun tidak. Padahal kita tahu yang namanya anak-anak, pasti ada saja tingkah dan kelakuannya. Saya ingat hanya pernah satu kali kejadian ada tiga orang anak yang ditegur oleh pengurus masjid di sini. Namun bukan karena mereka bermain dan berlari-larian di dalam masjid, melainkan karena mereka merusak gorden yang belum lama dipasang untuk mebatasi shaf. Wajar.

Dari apa yang saya lihat sejauh ini, muncul kesimpulan sementara, "mungkin masjid ini memang ramah anak ya.".


Ramadan, Masjid, dan Anak

Memasuki bulan Ramadan, masjid semakin ramai. Shaf-shaf terisi penuh. Jamaah dari berbagai kalangan dan usia berbondong-bondong datang untuk memakmurkan rumah ibadah umat Islam di bulan yang penuh keberkahan ini. Suasananya tidak kalah dengan masjid-masjid di Jakarta. Hanya sayang, tidak ada tukang cilok dan kue cubit yang ngetem di depan masjid di sini. Aih, rindu!

Saya pikir saat Ramadan, situasinya akan tetap sama. Anak-anak tak ada yg ditegur, sholat tetap berlangsung selagi anak-anak bermain tak terawasi. Namun ternyata tak sepenuhnya begitu.

Pada hari-hari pertama, seorang bapak yang saya yakini adalah ketua DKM di sini beberapa kali mengingatkan di sela-sela sholat isya dan tarawih,

"Please don't put your children on the back and let them play, put them beside you instead. They come here to learn, not to play!"

Namun, beliau juga menambahkan bahwa anak-anak pastilah sulit untuk dikendalikan dan diminta tenang selama sholat berlangsung. Apalagi dengan bacaan imam yang begitu panjang syahdu dan menenangkan. Tapi yang penting adalah bagaimana usaha dari kita, para orangtua, untuk mengajari anak-anak kita mengikuti sholat berjamaah, bukannya membiarkan mereka bermain sedari awal sholat dimulai.

Pernah pada suatu hari, keributan anak-anak selama sholat tarawih berlangsung tak dapat ditolerir lagi. Akhirnya, sang ketua DKM berdiri dan menegur keras para ORANGTUA sambil meminta mereka untuk dapat mengendalikan anak-anaknya dengan lebih baik. Menariknya, beliau memilih untuk tidak memarahi anak-anak tersebut dan tetap ramah ketika menyapa dan berbicara dengan mereka.

----

Dari pengalaman tersebut, ada beberapa pelajaran yang setidaknya bisa saya ambil.

1. Mengenalkan anak dengan masjid sedini mungkin itu sangat baik. Tapi ada baiknya kita perlu mempersiapkannya dengan matang sebelum melaksanakannya. Jangan sampai, anak datang ke masjid hanya untuk bermain. Meski pelan-pelan, mari kita ajari anak untuk bisa mengikuti gerakan sholat. Dengan catatan, pastilah tak bisa instan!

2. Pemilihan masjid juga menjadi pertimbangan yang perlu dipikirkan jika ingin mulai mengenalkan anak dengan masjid. Apakah jamaahnya cukup toleran terhadap tingkah laku anak-anak? Apakah ruang sholatnya cukup luas sehingga membuat anak nyaman dan tidak mengganggu jamaah lain ketika sedang sholat? Jangan sampai anak malah jadi antipati dengan masjid karena sering mengalami pengalaman yang tidak menyenangkan (misal: dimarah-marahi) di sana.

3. Memarahi anak karena mereka ribut di dalam masjid bukanlah tindakan yang bijak. Sudah pasti mereka belum memiliki pemahaman seperti apa yang diketahui oleh orang dewasa. Mereka masih lah menjadi tanggungan orangtuanya. Dengan memarahi anak, mungkin sholat berjamaah memang menjadi lebih kondusif sesaat. Namun kita tidak mau kan lima sampai sepuluh tahun mendatang masjid-masjid kehilangan jamaah karena generasi mudanya tumbuh tanpa mendapatkan kenyamanan dan rasa aman di masjid akibat sering dimarahi ketika kecil?

4. Manusia hanya bisa berikhtiar, namun Allah lah yang menentukan hasilnya. Orangtua hanya bisa berusaha sekuat tenaga untuk mengendalikan anak-anaknya selama di masjid, namun Allah lah yang menentukan apakah mereka bisa diam mengikuti sholat atau malah bermain tak jongkok di dalam masjid. Ah, tapi itulah seninya menjadi orangtua!

5. Kelima dan terakhir, kita perlu ingat bahwa masjid tidak hanya hadir pada saat Ramadan saja. Mari kita coba kenalkan masjid pada anak di bulan-bulan lainnya pula!

Sekian tulisan singkat dan berbagi pengalaman ini. Mohon maaf jika ada kesalahan, perbedaan, maupun kesamaan pemdapat. Semoga bermanfaat.




Catatan:
Penulis merupakan seorang ayah yang juga masih berusaha keras mengenalkan anaknya dengan masjid. :)






Tidak ada komentar:

Posting Komentar