Beberapa hari belakangan, ramai terdengar diskusi
mengenai keterkaitan masjid dan anak di media sosial. Berbagai orang mencoba
untuk mengutarakan pendapatnya. Entah itu sekedar status satu-dua kalimat
ataupun tips-tips yang dapat dipertimbangkan oleh para orangtua untuk mulai
mengajarkan anaknya kenal dan akrab dengan masjid. Tulisan yang saya buat ini
pun salah satunya.
Hanya ingin sharing mengenai apa yang saya lihat dan alami sendiri terkait topik 'masjid dan anak' di sini, di Bristol. Kota dimana saya menimba ilmu saat ini.
Hanya ingin sharing mengenai apa yang saya lihat dan alami sendiri terkait topik 'masjid dan anak' di sini, di Bristol. Kota dimana saya menimba ilmu saat ini.
Semoga bermanfaat. :)
Masjid di Bristol?
Tidak
banyak masjid di kota ini. Selain komunitas muslim yang memang bukan mayoritas,
Bristol bukan kota yang besar seperti London. Namun alhamdulillaah, flat tempat kami tinggal saat ini
terhitung sangat dekat dengan salah satu masjid komunitas Arab. Saya bisa
menjangkaunya hanya dengan berjalan kaki sekitar 5 menit. Tidak jauh berbeda
dengan saya berjalan kaki dari rumah orangtua di Bekasi/Jakarta menuju masjid
terdekat, wow!
Namanya As Sahaba. Estimasi kasar saya, masjid ini
bisa menampung sampai 300 - 400 jamaah sekaligus untuk melaksanakan sholat
berjamaah. Terdapat dua lantai di masjid ini, lantai bawah untuk laki-laki dan
lantai atas untuk perempuan. Namun sayangnya, saat ini luas tempat sholat
perempuan tidak sampai seperempat luas tempat sholat laki-laki. Renovasi dan
perluasan masih menjadi impian pengurus masjid yang belum bisa terlaksana.
Meski penampakan luarnya tidak seperti masjid kebanyakan - lebih mirip rumah atau gudang penyimpanan - interiornya dapat membuat kami para
jamaah cukup nyaman untuk beribadah di dalamnya. Paling tidak itu yang saya
rasakan selama ini.
Kondisinya setiap hari? Kurang lebih sama dengan masjid yang biasa kita jumpai
di Jakarta. Tiga sampai empat shaf jika sedang ramai, biasanya saat maghrib dan isya saja. Namun saat bulan Ramadan
seperti sekarang ini, kondisinya saat malam hari hampir-hampir seperti sholat
Jumat. Apalagi alasannya kalau bukan sholat
tarawih buka puasa gratis. :p
Masjid dan Anak
Dari sebelum masuk bulan Ramadan, saya perhatikan terkadang beberapa jamaah
datang membawa anak-anaknya untuk sholat di sini. Tidak banyak memang, biasanya
hanya ada satu atau dua anak per satu kali sholat. Lima anak sudah paling
banyak. Rentang usianya bermacam-macam, mulai dari kisaran 1.5 tahun hingga 4
atau 5 tahun. Cara para orangtua ini pun bermacam-macam ketika sedang sholat
sambil membawa anak. Berikut beberapa aliran yg dapat ditemui:
1. Sholat dan meminta anak berdiri di samping untuk mengikuti gerakan
sholat. Saya pikir ini yang
paling ideal, anak jadi belajar praktik langsung bagaimana melakukan sholat.
Setidak-tidaknya, dia akan duduk diam dan kita jadi bisa lebih konsentrasi
untuk sholat. Catatan penting, sang anak harus sudah bisa mengendalikan dirinya
untuk tidak wara-wiri dan tetap menempel pada orangtuanya. Saat ini, aliran ini
masih menjadi ANGAN-ANGAN SEMATA bagi saya.
2.
Sholat dan membiarkan anaknya bermain di belakang shaf. Para orangtua yang melakukan ini
biasanya membawa lebih dari satu anak. Asumsi saya, mereka ingin membuat
suasana yang nyaman terlebih dahulu bagi anak-anaknya di masjid sehingga
membiarkan mereka berlari-larian di belakang selama sholat. Orangtua dapat sedikit
melonggarkan pengawasan karena sang kakak sudah dapat diminta untuk mengawasi
adiknya untuk tidak aneh-aneh. Anak-anak happy, orangtua semoga khusyu' dalam sholat.
3. Sholat dan membiarkan anaknya bermain di tempat yang masih bisa diawasi tanpa menoleh ke belakang selama
sholat berlangsung. Biasanya para orangtua golongan ini membekali anak dengan
mainan ataupun handphone agar anak tenang selama sholat.
Uniknya, salah satu imam masjid ini pernah melakukannya. Dia membiarkan anak
perempuannya duduk di sebelahnya sambil menonton video di handphone selagi dia
memimpin sholat berjamaah. Bahkan saat Ramadan ini, ada yg membiarkan anaknya
main catur di dalam masjid selama tarawih berlangsung. Wow.
4. Sholat sambil menggendong anak. Saya
termasuk pengikut mazhab ini. TADINYA.
Karena Ken (anak saya), sudah makin besar dan tak bisa diam akhirnya
pelan-pelan saya beralih, mau tak mau. Saat ini, saya masih sedang dalam masa
pencarian (trial error) yang sesuai dengan tingkah laku Ken. Mungkin
lain kali saya akan cerita lebih detil soal ini. Biasanya, teknik ini dilakukan
bagi orangtua yg membawa bayi atau anak di bawah usia 2 tahun.
Bagaimanapun gaya para jamaah ini (termasuk saya)
membawa anak mereka ke masjid, hampir tidak pernah saya meihat ada jamaah lain
ataupun pengurus masjid yang memarahi anak-anak tersebut karena bikin keributan
atau berlari-larian di masjid. Baik ketika ada orangtuanya ataupun tidak.
Padahal kita tahu yang namanya anak-anak, pasti ada saja tingkah dan
kelakuannya. Saya ingat hanya pernah satu
kali kejadian
ada tiga orang anak yang ditegur oleh pengurus masjid di sini. Namun bukan
karena mereka bermain dan berlari-larian di dalam masjid, melainkan karena
mereka merusak gorden yang belum lama dipasang untuk mebatasi shaf. Wajar.
Dari apa yang saya lihat sejauh ini, muncul kesimpulan
sementara, "mungkin masjid ini memang ramah anak ya.".
Ramadan, Masjid, dan Anak
Memasuki bulan Ramadan,
masjid semakin ramai. Shaf-shaf terisi penuh. Jamaah dari berbagai kalangan dan
usia berbondong-bondong datang untuk memakmurkan rumah ibadah umat Islam di
bulan yang penuh keberkahan ini. Suasananya tidak kalah dengan masjid-masjid di
Jakarta. Hanya sayang, tidak ada tukang cilok dan kue cubit yang ngetem di depan
masjid di sini. Aih,
rindu!
Saya pikir saat Ramadan, situasinya akan tetap sama.
Anak-anak tak ada yg ditegur, sholat tetap berlangsung selagi anak-anak bermain
tak terawasi. Namun ternyata tak sepenuhnya begitu.
Pada hari-hari pertama, seorang bapak yang saya yakini
adalah ketua DKM di sini beberapa kali mengingatkan di sela-sela sholat isya
dan tarawih,
"Please don't put your children on the back and let them play, put them beside you instead. They come here to learn, not to play!"
Namun, beliau juga menambahkan bahwa anak-anak
pastilah sulit untuk dikendalikan dan diminta tenang selama sholat berlangsung.
Apalagi dengan bacaan imam yang begitu panjang syahdu dan menenangkan. Tapi yang penting adalah bagaimana
usaha dari kita, para orangtua, untuk mengajari anak-anak kita mengikuti sholat
berjamaah, bukannya membiarkan mereka bermain sedari awal sholat dimulai.
Pernah pada suatu hari,
keributan anak-anak selama sholat tarawih berlangsung tak dapat ditolerir lagi.
Akhirnya, sang ketua DKM berdiri dan menegur keras para
ORANGTUA sambil meminta
mereka untuk dapat mengendalikan anak-anaknya dengan lebih baik. Menariknya,
beliau memilih untuk tidak memarahi anak-anak tersebut dan tetap ramah ketika
menyapa dan berbicara dengan mereka.
----
Dari pengalaman tersebut, ada beberapa pelajaran yang
setidaknya bisa saya ambil.
1. Mengenalkan anak dengan masjid sedini mungkin itu
sangat baik. Tapi ada baiknya kita perlu mempersiapkannya dengan matang sebelum
melaksanakannya. Jangan sampai, anak datang ke masjid hanya untuk
bermain. Meski pelan-pelan, mari kita ajari anak untuk bisa mengikuti gerakan
sholat. Dengan catatan, pastilah tak bisa instan!
2. Pemilihan masjid juga menjadi pertimbangan yang
perlu dipikirkan jika ingin mulai mengenalkan anak dengan masjid. Apakah
jamaahnya cukup toleran terhadap tingkah laku anak-anak? Apakah ruang sholatnya
cukup luas sehingga membuat anak nyaman dan tidak mengganggu jamaah lain ketika
sedang sholat? Jangan sampai anak malah jadi antipati dengan masjid karena
sering mengalami pengalaman yang tidak menyenangkan (misal: dimarah-marahi) di
sana.
3. Memarahi anak karena mereka ribut di dalam masjid
bukanlah tindakan yang bijak. Sudah pasti mereka belum memiliki pemahaman
seperti apa yang diketahui oleh orang dewasa. Mereka masih lah menjadi tanggungan
orangtuanya. Dengan memarahi anak, mungkin sholat berjamaah memang menjadi
lebih kondusif sesaat. Namun kita tidak mau kan lima sampai sepuluh tahun
mendatang masjid-masjid kehilangan jamaah karena generasi mudanya tumbuh tanpa
mendapatkan kenyamanan dan rasa aman di masjid akibat sering dimarahi ketika
kecil?
4. Manusia hanya bisa
berikhtiar, namun Allah lah yang menentukan hasilnya. Orangtua hanya bisa
berusaha sekuat tenaga untuk mengendalikan anak-anaknya selama di masjid, namun
Allah lah yang menentukan apakah mereka bisa diam mengikuti sholat atau malah
bermain tak jongkok di dalam masjid. Ah, tapi itulah seninya
menjadi orangtua!
5. Kelima dan terakhir, kita perlu ingat bahwa masjid
tidak hanya hadir pada saat Ramadan saja. Mari kita coba kenalkan masjid pada
anak di bulan-bulan lainnya pula!
Sekian tulisan singkat dan
berbagi pengalaman ini. Mohon maaf jika ada kesalahan, perbedaan, maupun
kesamaan pemdapat. Semoga bermanfaat.
Catatan:
Penulis merupakan seorang ayah yang juga masih
berusaha keras mengenalkan anaknya dengan masjid. :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar